Aku Bingung
Aduh, aku bingung nih… Beribu kata "bingung" menempel di kepalaku. Sebenarnya, apa sih yang selalu membuatku bingung? Aku selalu membingungkan berbagai macam hal. Aku bingung memilih barang, aku bingung menentukan pilihan, aku bingung akan kelakuan para generasi milenial, aku bingung dengan tingkah laku adikku, aku bingung menghadapi teman-teman, aku bingung akan kondisi dunia. Duh, aku bingung, bingung, dan bingung.
Itu yang menjadi tema jurnalku hari ini. Kujentikkan jarijariku dengan lincah, mengetik kata demi kata, mengisi lembaran kosong di hadapanku.
Kata Papa, “Kalau kamu bingung terus akan segala hal, kamu mau jadi orang kayak apa? Segala hal kamu pikirkan. Memangnya apa yang salah dengan dunia ini? Untuk menentukan pilihan yang kamu mau saja, susahnya minta ampun. Bagaimana kamu bisa menghadapi situasi dunia saat ini jika kamu selalu berpikiran seperti ini?”
Memikirkan hal yang sama setiap hari sudah menjadi rutinitasku sehari-hari. Kebingungan ini menjadi suatu batu sandungan kecil dalam diriku. Ketika ditanya, “Kamu mau jadi apa?” oleh orang-orang, aku selalu menjawab, “Masih belum kepikiran.” Itu sangat memalukan. Menjadi orang seperti apa aku di kemudian hari?
Aku selalu belajar, belajar, dan belajar. Setiap hari aku selalu meluangkan waktu untuk belajar hal baru, baik itu di sekolah maupun di rumah. Aku mengalihkan kebingunganku ini dengan belajar. Itulah sebabnya mengapa aku selalu mendapat peringkat di kelas.
Banyak orang bertanya, “Bagaimana sih cara menjadi pintar?” atau, “Kamu makan apa sih supaya pintar?” Itu menjadi pertanyaan rutin dari teman-temanku. Kadang aku juga bingung, mengapa aku bisa seperti ini. Aku bukan termasuk anak yang gampang menghafal—segala hal yang aku hafal hanya untuk besok saja. Aku bukan anak yang pintar dalam berbahasa ataupun seni.
Tapi, pernah suatu kali aku bertanya kepada seorang temanku, “Memangnya menurut kamu, aku itu pintar karena apa?” Lalu dia menjawab, “Lu tuh pintar karena lu tuh rajin, beda sama yang lain.”
Kalau dipikir-pikir, benar juga. Selama ini aku selalu bekerja keras untuk tujuanku dan hasilnya datang dengan sendirinya.
Aku bingung dengan teman-temanku yang hanya meminta dan merengek untuk mendapatkan jawaban. Memangnya dunia ini dapat diraih jika kita hanya meminta dan merengek tanpa ada usaha?
Tapi, yang selalu membuatku bingung itu: dari apa yang kita pelajari selama ini, kebanyakan merupakan teori-teori yang sudah menjadi suatu bukti pasti yang mutlak. Ini yang menjadi pikiranku selama ini. Untuk apa kita menghafal, menghafal, dan menghafal tanpa kita menganalisis bukti tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari?
Masih banyak kok orang terpelajar yang berbuat hal-hal buruk, padahal secara teori itu merupakan hal yang gampang kalau diucapkan. Mengapa orang-orang sangat susah untuk berubah?
Aku bingung akan kondisi dunia kita saat ini. Terlalu banyak konflik, isu, dan masalah yang terjadi, baik di dalam maupun di luar negeri—menyangkut suku, agama, ideologi, perbedaan paham, dan masih banyak lagi. Mengapa kita tidak bisa membuat suatu dunia yang aman dan damai? Memangnya perlu dilakukan kekerasan untuk menghadapi berbagai masalah? Apakah hati manusia sekarang ini berisi amarah dan dengki bagai besi yang tidak meleleh saat dibakar?
Aku bingung dengan para pemimpin saat ini. Menghisap pundi-pundi rakyat tanpa pandang bulu telah menjadi makanan mereka sehari-hari. Bagaimana dunia ini akan menjadi maju jika para pemimpinnya saja seperti itu? Pemimpin itu menjadi panutan masyarakat. Dapat merubah dan menggerakkan hati rakyatnya. Jika pemimpinnya saja seperti itu, bagaimana dengan rakyatnya?
Aku bingung mengapa banyak orang—baik orang muda maupun orang tua—saat ini menjadi tergantung dengan yang namanya gadget. Seakan tidak mau ketinggalan dengan berbagai teknologi keluaran terbaru, mereka semua berebut akan yang namanya gadget. Suatu gengsi yang tidak bisa ditahan. Tanpa gadget itu, apakah mereka bisa “mati”? Di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi apa pun, mereka akan selalu berada di samping gadget.
Aku bingung akan gaya hidup generasi milenial yang selalu menjaga “image” mereka dengan berbagai cara. Menghalalkan dan mengorbankan segala hal hanya demi suatu pujian dan sanjungan dari masyarakat.
Aku bingung untuk menentukan masa depanku. Padahal sebentar lagi akan lanjut ke jenjang SMA, yang merupakan gerbang masa depanku. Asal pilih sekolah tentu menjadi hal tabu bagiku. Tentu aku mau memilih sekolah yang berkualitas dan mendukung bakat serta keahlianku. Tapi sekali lagi, cita-cita saja aku belum kepikiran.
Aku bingung kalau disuruh memilih barang. Aku selalu menanyakan berbagai pendapat dari orang lain. Hingga akhirnya, terlalu banyak masukan yang ada membuatku bingung memilih.
Aku bingung ketika mendapatkan soal yang menyuruhku untuk memilih antara dua pilihan. Karena terlalu banyak memikirkannya, aku tidak menjawab sesuai “kata hati” dan akhirnya pun salah.
Aku bingung mengapa banyak orang yang berbuat baik di hadapan masyarakat malah dibilang cari perhatian, sedangkan mereka sendiri belum tentu bisa berbuat demikian. Hanya cemoohan dan makian yang keluar dari mulut mereka.
Dan terakhir, dengan kebingunganku ini, aku mulai berpikir kritis dan logis terhadap berbagai permasalahan. Segala hal yang aku pikirkan telah tertuang di sini. Ini merupakan kisah di balik kisah. Aneh ya kedengarannya? Aku sendiri juga bingung dengan apa yang aku tuliskan.