Masa SMA: Antara Kenangan dan Kenyataan

SMA. Masa di mana banyak orang merasa paling bebas. Bebas bermimpi setinggi langit, bebas berteman, bebas mengekspresikan perasaan, dan bebas mencoba hal-hal baru tanpa takut salah atau menyesal. Di sinilah kita bisa bertemu teman seumur hidup—bersama-sama tertawa, stres, marah karena tugas menumpuk, bahkan merasa tidak peduli dengan sekolah karena terlalu lelah atau malas, tapi tetap bisa berbagi tawa dan air mata.

Namun, apakah semua kebebasan dan tawa ini akan berakhir saat kita melepas seragam putih abu-abu dan dasi SMA? Apakah kita tidak bisa kembali ke masa ini—masa di mana beban hidup terasa lebih ringan, dan dunia belum terlalu menuntut?

Masa remaja adalah berkah—hadiah pertama dalam hidup yang patut kita syukuri. Saat itu, ekspektasi dari luar belum menekan kita sekuat sekarang. Tapi semuanya berubah ketika kita mulai sibuk memikirkan bagaimana cara bertahan hidup di dunia yang serba cepat dan kompetitif. Tak ada lagi dukungan sebanyak saat SMA. Yang tersisa hanyalah diri kita sendiri, dan kekuatan untuk menghadapi segala pikiran—baik yang membangun maupun yang menggelapkan hati.

Jika seseorang bertanya kepadaku, “Apa arti SMA dan 17 tahun pertama hidupmu di dunia ini?” Jawabanku sederhana: SMA adalah gerbang awal menuju sesuatu yang lebih besar. Ini bukan akhir, tapi permulaan.

Aku bukan orang yang banyak bicara. Tapi aku punya empati dan simpati yang dalam terhadap orang lain. Selama SMA, aku merasa dinilai hanya dari sikapku di depan umum—bukan dari siapa aku sebenarnya. Tidak satu pun teman yang benar-benar tahu bagaimana aku bersikap ketika tidak ada orang lain di sekitar.

Tapi mari kita jujur—apakah ada orang yang benar-benar menampilkan dirinya apa adanya di depan umum? Semua orang memakai topeng, menyembunyikan ketakutan dan rahasia yang bahkan tak bisa mereka ungkapkan kepada siapa pun. Bahkan seorang penjahat pun, meski semuanya telah terungkap di publik, pasti masih menyimpan sesuatu hanya untuk dirinya sendiri. Tak seorang pun benar-benar terbuka. Semua orang menyimpan sesuatu—entah itu soal pribadi, keluarga, atau hal yang mereka anggap memalukan. Dan itu tidak apa-apa. Yang penting adalah berusaha menjadi orang baik, setidaknya di depan banyak orang.

Tentang Masa SMA-ku

Kalau ditanya apakah aku punya kenangan menyenangkan selama SMA? Jujur, pengalaman SMA-ku tidak seperti yang sering digambarkan di film atau media sosial. Tidak ada kebebasan dan keceriaan remaja seperti yang aku bayangkan. Aku tidak punya waktu untuk menyanyi lepas, bertingkah konyol tanpa dinilai, atau tertawa malam-malam sambil menginap di rumah teman. Semua itu hanya ada di imajinasiku. Yang nyata hanyalah pelajaran tiada henti, rasa lelah karena gagal, dan angka-angka ujian yang kadang tak masuk akal.

Tapi benar kata orang, masa SMA adalah masa pencarian jati diri. Teman-teman lama pun berubah. Mereka kini punya ambisi, mulai mencoba hal-hal baru yang dulu terasa mustahil. Bahkan mereka yang dulu biasa saja kini mulai bersinar. Tak ada yang salah dengan ambisi, tapi jangan lupakan bahwa selain kerja keras, ada hal yang tak bisa kita kontrol: keberuntungan. Tak semua orang punya jalan yang sama. Ada yang harus mengalah demi memberi tempat bagi yang lebih "beruntung".

Pelajaran terbesar selama 3 tahun ini adalah: Kamu tidak akan pernah merasa cukup, kalau kamu sendiri belum bisa menerima. Menerima bahwa kamu sudah berusaha semaksimal mungkin, dan menerima bahwa ada hal yang mungkin tidak bisa kamu kuasai, sekeras apa pun kamu mencoba.

Bukan berarti kita berhenti belajar. Tapi kita harus paham bahwa:

  1. Mungkin belum waktunya, dan kamu perlu lebih banyak waktu untuk tumbuh.

  2. Atau memang itu bukan untukmu, dan merelakannya bukan berarti gagal—justru itu bentuk keberanian.

Mencoba dan merasakan perjuangan saja sudah merupakan kemenangan tersendiri. Lebih baik mencoba dan gagal, daripada tak pernah mencoba dan akhirnya menyesal.

Tentang Perasaan dan Persahabatan

Tak semua orang bisa melihat niat baikmu. Sering kali, kebaikan disalahartikan. Orang mudah terbawa perasaan (baper), dan kadang kamu harus bersikap tegas—walau terkesan dingin. Tapi itu lebih baik daripada memberi harapan palsu. Jujurlah. Jika kamu tidak tertarik, tunjukkan dengan jelas. Pahami perasaan orang lain, dan tahu batas.

Duduk di lantai, menatap diam-diam saat istirahat, adalah rutinitas remaja yang sedang jatuh cinta. Tertawa sampai malu sendiri, menggosip ringan, saling ejek tanpa sakit hati—semua itu bagian dari memori indah yang tak tergantikan.

Kita sering iri, membandingkan diri dengan orang lain. Tapi rumput tetangga tidak selalu lebih hijau. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya mereka rasakan di balik semua pencapaian itu.

Bisa jadi semua kata-kata indah yang kutulis ini tak memiliki struktur jelas. Tapi apakah itu menghalangi keinginanku untuk mengenang masa remaja yang penuh cerita ini?

Menuju Dunia Baru

Kini, kehidupan kuliah menanti. Semua berpencar, mengejar jalan masing-masing. Banyak yang melupakan satu sama lain—dan itu hal yang wajar. Tapi aku masih ingin percaya bahwa suatu hari nanti, aku bisa tertawa lepas dan ngobrol tanpa arah bersama teman-teman lamaku. Karena meskipun semuanya berubah, kenangan itu tetap hidup di dalam diri kita.