Menulis Ulang Diri, Menyulam Ulang Arti

Bab 1 — Sunyi di Tengah Sorak Sorai

Pagi itu tak seperti biasanya. Semua orang di rumah bangun lebih pagi, bersiap dengan penuh semangat. Mereka membantuku berdandan, menata rambut, memilih gaun terbaik—seolah ingin menunjukkan versi paling bersinar dari diriku ke dunia luar. Ada sorot bangga di mata mereka, haru yang menggantung di ujung senyum. “Akhirnya kamu sampai juga,” seolah begitu kata yang tak terucap.

Tapi entah mengapa, hatiku justru kosong. Tidak ada kegembiraan. Tidak ada rasa lega. Tak ada gejolak apa pun yang biasanya menyertai momen sakral seperti ini. Bahkan ketika aku berdiri di tengah-tengah teman-teman, dipanggil untuk terakhir kalinya sebagai bagian dari mereka—aku tetap merasa asing. Mereka tertawa, bersorak, menitikkan air mata haru. Aku hanya berdiri, seolah tubuhku di sana, tapi jiwaku entah di mana.

Kelulusan, yang bagi banyak orang dianggap sebagai puncak kebahagiaan atau klimaks dari sebuah perjalanan, justru menjadi ruang sunyi dan jeda bagiku. Momen ini lebih mirip akhir dari tekanan panjang, bukan perayaan yang penuh sorak. Seperti napas panjang yang diambil setelah lepas dari jeratan ekspektasi dan kekangan institusi. Bukan karena aku tak bersyukur, tapi karena selama ini aku terlalu sibuk bertahan, hingga tak sempat benar-benar merasa hidup. Mungkin aku terdengar tak berterima kasih—namun aku tak bisa memaksa hatiku untuk bersukacita atas sesuatu yang tak pernah benar-benar terasa milikku sepenuhnya.


Bab 2 — Di Balik Tirai Prestasi

Empat tahun kuliah ini tidak pernah terasa seperti masa-masa terbaik dalam hidupku. Ada terlalu banyak luka yang dipoles jadi tawa, terlalu banyak kegelisahan dan letih yang dibungkam agar terlihat kuat. Hari-hari ketika aku merasa seperti menjalani hidup orang lain—terseret arus, mencoba memenuhi ekspektasi dunia, hingga lupa mendengar bisikan jiwaku sendiri.

Aku pernah mengira bahwa masuk ke universitas ternama akan memberi kepuasan dan kebanggaan. Tapi seiring waktu, aku sadar: pencapaian luar tanpa keseimbangan dalam hanya menyisakan kehampaan. Lingkungan yang penuh kompetisi, standar yang tinggi, kurikulum yang kaku, dan relasi yang serba dangkal perlahan mengikis siapa diriku sebenarnya. Aku merasa seperti memerankan peran yang tidak kumengerti, dalam naskah yang tak kutulis sendiri. Aku terus berlari dalam lomba yang tak pernah kupilih, mengejar validasi, sampai lupa rasanya berjalan tanpa takut tertinggal.

Namun, justru di balik semua tekanan itu, aku bertumbuh. Aku menari di negeri orang, memimpin tim, menyuarakan pikiranku di hadapan ratusan orang, membangun pertemanan sejati, dan menjelajahi sisi-sisi diriku yang sebelumnya tak pernah kukenal. Aku belajar untuk berdiri, bahkan saat kakiku goyah. Aku belajar untuk tetap melangkah, bahkan ketika semuanya terasa berat.

Transkrip akademikku mungkin tak sempurna, dan prestasiku mungkin tak bersinar di mata banyak orang. Tapi setiap nilainya adalah jejak perjuangan—bukti bahwa aku bertahan, bahwa aku tidak menyerah, bahkan ketika aku sendiri sempat meragukan kemampuanku. Aku bangga bukan karena nilai atau pencapaian, tapi karena aku berhasil melewati dua tahun pertama yang gelap, penuh pertanyaan tentang layak atau tidaknya aku berada di sini.

Hari ini, aku menoleh ke belakang bukan dengan penyesalan, tapi dengan penghargaan. Karena meski perjalanan ini jauh dari kata ideal, aku tetap di sini. Masih berdiri. Masih berjuang. Dan untuk itu saja, aku sudah cukup bangga.


Bab 3 — Mereka yang Tak Pernah Pergi

Di balik segala pencapaianku, ada tiga sosok yang tak pernah surut—mereka yang diam-diam menopang ketika aku nyaris runtuh.

Mama. Tak ada kata yang cukup menggambarkan betapa besarnya peranmu dalam perjalanan ini. Kau adalah diari hidupku yang bisa bicara, yang mendengar segala keluh, segala absurditas harianku, tanpa pernah lelah atau menilai. Kau selalu ada, lima atau lebih panggilan sehari pun kau terima dengan sabar. Tapi aku juga tahu, kehadiranku sering membebanimu. Untuk itu, aku minta maaf. Maaf telah membuatmu ikut menanggung luka yang bahkan bukan milikmu. Aku berjanji, aku akan belajar mengatur emosiku, agar kehadiranku tak lagi jadi beban.

Papa. Kau membesarkanku bukan dengan pelukan hangat, tapi dengan prinsip yang kokoh dan logika yang tajam. Kadang sikapmu membuatku menangis diam-diam, tapi dari kerasmu aku belajar tentang konsistensi. Tentang bangun pagi selama puluhan tahun tanpa keluhan, tentang mencintai dalam tindakan, bukan kata-kata. Meski kita tak selalu sejalan, aku tahu cintamu selalu ada.

Charlene, adikku—matahari kecil di hari-hari kelabu. Kamu adalah satu-satunya yang bisa membuatku tertawa tanpa beban, menjadi diriku yang paling jujur—tanpa filter, tanpa takut dihakimi. Kita memang sering bertolak belakang, tapi kamu selalu sabar. Maaf untuk sikap kakakmu yang bengal ini. Kamu adalah cermin tempat aku melihat sisi lain dari dunia, cahaya yang membuatku ingin menjadi lebih baik setiap harinya. Terima kasih karena selalu memilih tinggal, bahkan saat kamu tahu sisi terburukku. Kamu adalah rumah yang selalu ingin kutuju.


Bab 4 — Dua Perpisahan di Satu Persimpangan

Di hari kelulusanku, aku menoleh pada sosok papa yang berdiri tenang di antara kerumunan. Wajahnya, seperti biasa, tak memperlihatkan banyak ekspresi. Tapi ada yang berbeda hari itu—sorot matanya tampak lebih dalam, seolah ia sedang menimbang-nimbang sesuatu dalam dirinya sendiri.

Beberapa minggu sebelumnya, papa resmi pensiun setelah hampir 30 tahun bekerja. Setiap hari, selama lebih dari dua dekade, ia bangun pukul 4.30 pagi, menembus kemacetan ibu kota, dan pulang larut malam dalam diam. Tak pernah ia mengeluh. Tak pernah meminta pengakuan. Hidupnya adalah dedikasi yang sunyi, kerja keras yang tak pernah dijadikan narasi.

Ketika aku bertanya, “Apa yang akan Papa lakukan setelah ini?” Ia hanya tersenyum dan menjawab, “Papa ingin menikmati momen kebebasan ini untuk sementara saja. Setelah itu, kita lihat pelan-pelan.”

Jawaban itu terdengar sederhana, tapi begitu dalam. Aku terdiam. Karena saat itu aku menyadari: kami berdua sedang berdiri di titik yang sama—sebuah persimpangan. Ia melepas dunia kerja yang selama ini membentuk sebagian besar hidupnya. Aku melepas status pelajar yang menjadi arah dan identitasku selama 16 tahun. Dua perpisahan. Satu persimpangan.

Kami sama-sama menghadapi kekosongan yang tak sepenuhnya nyaman: ruang luas yang belum diberi nama, namun penuh kemungkinan. Sama-sama belajar menanggalkan identitas lama. Sama-sama menepi sejenak setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Sama-sama dihadapkan pada tanya, “Siapa aku, jika tidak lagi disandarkan pada peran yang selama ini kugenggam erat?”

Bagi papa, mungkin ini waktu untuk diam dan meresapi hidup yang selama ini terlalu padat. Bagi aku, ini saatnya mulai mempertanyakan ulang—apa arti berhasil, apa arti bahagia, dan apa arti cukup. Kami sama-sama belajar bahwa perpisahan bukan hanya soal meninggalkan sesuatu, tapi tentang memberi ruang bagi versi baru dari diri sendiri untuk tumbuh.

Kelulusan dan pensiun, meski tampak berbeda, sesungguhnya adalah dua sisi dari satu hal yang sama: proses berpindah. Dari yang pasti ke yang tidak pasti. Dari yang dikenal ke yang asing. Dari yang lama ke yang belum jadi.

Maka bab ini bukan sekadar perayaan akhir, tapi penghormatan atas keberanian kami untuk melangkah ke depan, tanpa peta yang pasti.


Bab 5 — Menulis Ulang Diri

Topi wisuda telah kulepaskan, toga dilipat rapi. Tak ada lagi sorak sorai, tak ada lagi keramaian. Dalam keheningan yang menyusul, aku menundukkan kepala—bukan untuk bersedih, tapi untuk mendengarkan kembali suara hatiku, yang kini terdengar lebih jernih.

Siapa aku, tanpa gelar? Tanpa status pelajar yang selama ini menjadi arah hidup dan tameng dari ketidakpastian? Tanpa tenggat tugas dan pencapaian nilai yang mengatur detak hariku?

Aku tak tahu pasti ke mana langkahku berikutnya. Tapi kali ini, aku tidak ingin terburu-buru. Aku ingin berjalan perlahan, mencicipi dunia yang tak lagi dipenuhi tekanan. Dunia di mana aku bisa mengenal kembali diriku sendiri—tanpa gelar, tanpa peran, tanpa paksaan.

Kelulusan ini bukanlah klimaks. Ia adalah undangan untuk memulai babak baru. Untuk berhenti hidup demi ekspektasi orang lain, dan mulai menulis kisah yang lebih jujur pada diri sendiri. Tak apa jika jalanku berbeda. Tak apa jika aku belum tahu arah pasti. Karena justru di sanalah ruang untuk harapan tumbuh.

Aku sadar, membangun hidup baru tak harus dimulai dengan lari kencang. Kadang, justru dimulai dengan duduk tenang. Merenung. Bertanya. Mencoba. Gagal. Belajar. Lalu mencoba lagi. Dan di tengah itu semua, menerima bahwa tidak tahu arah juga adalah bagian dari perjalanan.

Perjalanan ini belum selesai—mungkin justru baru dimulai. Dan kali ini, aku ingin menulis ulang ceritanya. Bukan dengan pena orang lain, bukan untuk memenuhi ekspektasi siapa pun, tapi dengan tanganku sendiri. Dengan kejujuran. Dengan hati.

Bersama papa yang juga sedang menapaki masa transisinya, aku memilih untuk melangkah perlahan. Tak lagi dikejar waktu atau validasi. Tapi dengan keberanian dan kerendahan hati untuk bertanya, mengeksplorasi, dan menjadi.

Untukku dan untuk papa,

Kita mungkin tak berjalan di jalan yang sama,

Tapi kita tiba di tikungan waktu yang serupa

Di mana kita harus melepaskan yang lama,

Untuk memberi ruang bagi diri yang baru.


Mari kita rayakan kelulusan ini bukan sebagai akhir,

Tapi sebagai perhentian sejenak

Untuk menoleh ke dalam,

Mendengarkan ulang suara hati,

Dan menulis kisah baru yang lebih jujur,

Dengan harapan dan keberanian.


Langkah demi langkah,

Kita melangkah perlahan tapi pasti,

Menuju babak berikutnya

Yang masih kosong,

Tapi penuh kemungkinan dan makna.