Apa Artinya Menjadi Manusia?

Menjadi manusia berarti belajar tenggelam dalam riuh rendah dunia, lalu diam-diam berenang kembali ke permukaan. Terlalu sering kita hanyut dalam kebisingan kota, dalam lalu-lalang kendaraan dan lampu merah yang tak kunjung padam. Jalan setapak menuju rutinitas terasa seperti lorong waktu yang tak pernah memberi ruang untuk bernapas. Modernisasi menggilas pelan-pelan, membentuk kita seragam, melupakan bahwa kita punya suara sendiri yang selayaknya didengar.

Sebagai makhluk yang diberi akal dan rasa, semestinya kita mampu memandang dunia dengan mata kita sendiri, bukan sekadar mengikuti bayang-bayang. Namun, sering kali pandangan itu terhalang oleh selubung tipis bernama iri—lingkaran tak kasat mata yang menjerat tanpa ampun.

Lalu, apa sejatinya makna menjadi manusia?

Bayanganku sederhana: duduk di atap rumah tua, memandangi jalan kecil yang mengarah ke masa lalu. Menunggu. Menerima. Menyambut orang-orang terkasih yang menjejakkan kaki mereka kembali ke halaman hidupku. Kemudian, bayangan itu berubah. Aku mendaki gunung dalam gelap malam, hanya ditemani cahaya senter kecil di dahi yang sebentar lagi akan padam. Tak kusangka tubuh kecil ini mampu melangkah sejauh itu—melawan dingin, sepi, dan rasa takut. Mencari pendamping dalam perjalanan acak ini tak pernah mudah; tak semua mampu memahami hasrat liar dan impian yang muncul tiba-tiba seperti badai.

Apa yang sesungguhnya kau cari dalam hidup?

Sering kali kita lupa bahwa hidup bukan tentang penyesalan. Pada akhirnya, kita semua akan pergi. Jejak kita akan menghilang, terkikis waktu, kecuali jika ada satu dua hati yang sudi menyimpan kisah kita dalam ingatan mereka.

Jangan takut mencoba. Itu satu kalimat yang menyalakan hari-hariku. Jangan takut gagal, sebab tak ada yang benar-benar peduli sebanyak dirimu sendiri. Mungkin ada yang berkata orang tua akan selalu peduli. Tapi di balik kasih itu pun ada harapan, bahwa suatu hari anak-anak mereka akan pergi, membangun dunia sendiri, meninggalkan rumah yang dulu memeluk mereka.

Menjadi dewasa berarti kehilangan tempat lari. Ketika orang tua tak lagi di sisi, ke mana kita akan kembali?

Bagiku, jika ditanya apa arti mereka, cukup satu kata: tulus.

Aku beruntung. Mereka tahan akan setiap badai yang kuhempaskan dengan kata-kata yang tak seharusnya. Aku sadar betapa seringnya aku melukai harapan dan meruntuhkan kepercayaan mereka. Namun, di hadapan mereka, aku bisa menjadi diriku yang sesungguhnya—rapuh, emosional, penuh luka, namun tetap dicintai.

Tak ada yang mengenalku seutuh itu selain mereka. Mereka adalah rumah, yang tak pernah lelah menunggu kepulangan, walau aku datang dengan tangan hampa dan hati yang tak utuh.