Pergulatan Sunyi dalam Hidup yang Tak Henti Menagih Jawaban

Hidup, kadang terasa begitu datar dan menjemukan—terutama saat hari-hari dilewati dalam siklus yang hampa: bangun kesiangan, menatap layar ponsel, lalu tenggelam dalam derasnya video singkat yang mencandui. Tanpa sadar, separuh waktu terbuang di atas ranjang, digulung oleh algoritma yang lihai membius kesadaran. Tak ada kendali, tak ada perlawanan—hanya pasrah pada racun digital yang merayap perlahan, mengaburkan batas antara realita dan kebodohan yang diam-diam diterima.

Lalu aku duduk, menatap lembar kosong. Sulit rasanya mulai menulis lagi. Seolah seluruh keluh kesah telah habis tumpah di halaman-halaman sebelumnya. Namun ada satu ganjalan yang masih bergema: krisis seperempat abad. Hari demi hari dilewati dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Siapa aku di masa depan? Apakah pekerjaan yang kujalani kini akan membawa bahagia? Atau justru sebaliknya—menguburku perlahan dalam rutinitas yang kering makna?

Persahabatan pun kian menipis, seperti lukisan yang luntur dimakan waktu. Tak ada lagi tempat bercerita tanpa perlu menunggu celah di sela-sela kesibukan. Aku rindu tertawa lepas tanpa jadwal, rindu hadirnya seseorang yang benar-benar ada, bukan hanya dalam notifikasi.

Dulu aku berpikir, hidup mandiri adalah bentuk kebebasan tertinggi. Dan memang, aku bangga telah bertahan sendiri di negeri asing. Bangga karena mampu menahan diri dari pengeluaran sia-sia, menundukkan keinginan demi logika. Kendali atas ego kuasa dalam diriku, dan banyak yang memuji ketangguhan itu. Namun siapa sangka, di balik itu semua, ada rasa lelah yang tak bisa aku bagi.

Sesekali aku ingin juga menjadi manusia biasa—membeli barang tanpa berkali-kali menimbang. Namun logika selalu menyeretku kembali: bahwa semua keinginan hanya sementara. Aku menahan, menimbang, membandingkan, hingga muak, lalu menyerah pada keputusan untuk tidak membeli apa pun. Ironisnya, yang terbuang justru waktu. Minggu-minggu berlalu, bukan karena kesibukan, tapi karena kebimbangan yang menyita tenaga.

Aku tahu, jalan keluar dari masalah ini tidak mudah. Keinginan banyak, tapi kantong selalu mengingatkan. Barangkali suatu hari nanti, ketika aku memiliki pekerjaan tetap dan keuangan yang lebih mapan, semua itu bisa tercapai tanpa menggantungkan diri pada orang lain. Karena aku percaya, segala yang layak harus lahir dari keringat sendiri. Kita hanya hidup sekali—dan bekerja bukan demi orang lain, tapi demi menghargai diri sendiri. Maka belajarlah mencintai dirimu, sebelum menuntut orang lain untuk melakukannya.

Namun tetap saja, hidup ini mulai terasa terlalu senyap. Terlalu datar. Aku ingin mewarnainya dengan kejutan-kejutan, dengan pengalaman yang membuat setiap hari terasa berarti. Selama ini aku hidup dalam bayang-bayang ujian: wawancara, audisi, proyek kelompok—semua datang dengan taruhan. Aku lelah terus berlomba. Tapi bagaimana lagi? Dunia telah terlahir dari kompetisi. Yang bisa kulakukan hanyalah belajar untuk tak membiarkan stres mengambil alih seluruh hariku. Aku ingin belajar untuk melepaskan, walau hanya sejenak.

Satu proyek yang lama bergelayut di benakku adalah membuat blog—tempat kuarsipkan perenungan selama proses menjadi dewasa. Tak kusangka, curahan hati di masa lalu ternyata cukup menggugah untuk dibaca ulang. Kata-katanya matang, jujur, bahkan menyentuh. Namun ironisnya, justru kini aku kehilangan arah. Tak tahu harus menulis apa lagi. Rasanya semua telah kutuangkan ke dalam dokumen yang sunyi di komputer. Yang tersisa hanyalah serpihan nasihat dan refleksi harian—hal-hal yang mungkin juga dialami orang lain. Lalu timbul tanya: siapa aku, hingga layak membagikan kisah hidupku untuk dibaca orang asing?

Barangkali aku hanya sedang mencari validasi. Mencari alasan agar yakin bahwa tulisan-tulisanku pantas diunggah. Mungkin blog itu bisa jadi wadah pembahasan isu-isu anak muda, dilema generasi kita. Tapi di era ini, hampir semua masalah telah dibedah habis oleh internet. Yang kita cari bukan lagi jawaban, melainkan kepastian bahwa keputusan kita tidak salah. Kita mencari suara lain yang berkata: “Aku pun pernah mengalami hal yang sama.”

Sungguh sulit berdebat dengan pikiran sendiri. Kadang aku hanya ingin memiliki lawan bicara yang bisa diajak bertukar pikiran, menyelami topik-topik rumit versi abad ke-21, dalam dunia yang bergerak cepat dan jarang memberi waktu untuk benar-benar berpikir. Tahun ini—2023—dan mungkin tahun-tahun selanjutnya, yang kubutuhkan bukan solusi, tapi ruang. Ruang untuk bernapas, untuk berbicara tanpa takut tak didengar. Ruang untuk merasa bahwa aku tak sendiri dalam sunyi ini.