Jejak Waktu
Di dunia ini, hampir segalanya bisa dicari ulang—uang yang hilang, cinta yang kandas, peluang yang terlewat. Tapi waktu adalah satu-satunya hal yang tak pernah bisa kita genggam dua kali. Ia terus bergerak maju, tak peduli siapa kita, sekuat apa kita mencoba, atau sebanyak apa yang ingin kita ulangi.
Setiap tahun, usia bertambah. Kita boleh saja menjaga pola makan, berolahraga, dan memakai produk anti-penuaan untuk tampak awet muda. Namun, mereka yang mengenal kita sejak lama tahu: ada perubahan yang tak bisa disembunyikan. Waktu meninggalkan jejaknya—pada wajah, tubuh, energi, hingga cara kita memandang hidup.
Tubuh kita perlahan berubah. Berat badan naik-turun, kulit kehilangan elastisitasnya, metabolisme melambat, hormon tak lagi seimbang. Seiring berjalannya waktu, kita semua melewati fase-fase tak terelakkan dari proses menjadi tua.
Bagi yang muda, waktu terasa seperti ruang luas tanpa ujung. Mereka punya kemewahan untuk mencoba, gagal, lalu bangkit lagi. Masa muda adalah panggung eksperimen.
Bagi yang beranjak dewasa, kehidupan berubah menjadi pencarian stabilitas—pekerjaan, pasangan, tempat tinggal, dan makna.
Namun, ada satu kelompok yang kerap kita lupakan: mereka yang telah memasuki usia 55 tahun ke atas. Mereka yang begitu cepat kita beri label "lansia," seolah masa produktif dan bermakna mereka telah usai.
Padahal, waktu tetap berjalan untuk mereka juga. Dan sama seperti kita, mereka pun memiliki mimpi, ingatan, rasa ingin tahu, dan hak untuk merasa hidup sepenuhnya.
Sebab selagi napas masih ada, waktu bukanlah akhir—melainkan ruang. Ruang untuk tetap tumbuh, memberi arti, dan mencintai hidup dalam bentuknya yang paling jujur.