Penjaga Kenangan

Langit senja menggulung awan, menyimpan tangis yang belum tumpah. Langkahku menapak jejak waktu menuju pondok sunyi di punggung bukit. Mentari merunduk malu di balik kabut dan jelaga kota. Dari kejauhan, siluet yang kukenal melayang dalam pandang.

Kala jingga rebah menjadi malam, aku terjebak dalam sunyi yang menggigil. Lidahku membatu, bersandar pada semak-semak luka yang tak berdaun harap.

Tak kuhirau duri yang mencabik telapak nasibku. Rasa ngilu menjalar, namun hati ini lebih takut pada hadirmu, sang perwira dalam senyap, yang berdiri jauh namun dekat di poros semestaku.

Mataku, satu-satunya jendela yang masih berani mengintip masa lalu Sementara suara telah tenggelam bukan karena enggan bersuara, melainkan karena semesta telah memberi isyarat: kita bukan takdir yang bersimpul.

Di balik kelam, layar kita telah dikoyak arah. Tak ada pelabuhan yang menunggu. Hanya arus waktu yang terus mengalir, menjauhkan dua perahu yang pernah bersandar.

Terima kasih, wahai penjaga kenangan. Kita pernah menari dalam lingkar cahaya yang tak abadi. Kau pernah menjadi nadaku saat hening mencengkeram. Kini tiba saatnya melepaskan genggam.