Terima Kasih, Tanpa Harus Memiliki
Dari ribuan detik yang telah kulalui di panggung dunia ini, jejak yang paling membekas justru datang dari mereka yang hanya singgah sejenak—para lelaki yang, tanpa sadar, menjadi guru dalam diam. Mereka tak banyak berkata-kata, namun tindakannya lantang mengajarkan: bahwa perhatian tak seharusnya lahir dari tangis, rengekan, atau permohonan yang putus asa. Perhatian sejati tumbuh dari nurani, hadir tanpa diminta, seperti angin yang datang membawa sejuk tanpa aba-aba.
Mereka mengajarkan bahwa kesabaran bukan sekadar menahan diri, melainkan seni memahami, bahkan ketika harus menjawab pertanyaan yang terdengar naif. Bahwa kebodohan bukan aib, melainkan awal dari petualangan pengetahuan yang bisa dijelajahi bersama. Dari mereka, aku belajar menggunakan logika—meski terkadang terasa dingin dan menyebalkan—namun justru diperlukan di saat-saat genting.
Aku belajar bahwa drama bukanlah badai yang harus ditakuti. Bahwa berdamai dengan kenyataan, menerima keadaan tanpa banyak prasangka, adalah wujud kedewasaan yang tak perlu ditimbang berulang kali. Bahwa kekacauan bukan selalu musuh; ia hanya butuh pelukan yang tenang.
Terima kasih aku ucapkan untuk setiap lelaki yang pernah menjadi bagian dari hidupku selama 21 tahun ini. Untuk kalian yang telah mengajarkan makna dicintai tanpa syarat, diperhatikan tanpa paksaan, dan dipandang tanpa penghakiman. Terima kasih telah menyediakan ruang di harimu bagi sosok ceroboh dan spontan ini, yang seringkali hadir dengan kelucuan dan keabsurdan yang tak terduga. Di hadapan kalian, aku belajar menjadi diri sendiri—apa adanya, tanpa topeng, tanpa takut.