Mencari Arti, Menemukan Diri

Belakangan ini, segalanya terasa meleset dari harapan. Rencana-rencana yang dahulu kususun rapi kini hanya menjadi jejak samar yang hilang tertiup angin. Usaha pun seringkali tak terlihat, seperti tenggelam dalam hiruk-pikuk hidup yang terus berjalan tanpa peduli. Bahkan saat ini, saat aku menulis pun, rasanya kosong—tak berjiwa. Seolah kata-kata pun tak lagi sanggup menampung beratnya rasa.

Pagi ini aku tertidur saat fajar hampir menjelang, setelah tenggelam dalam guliran video tanpa akhir—Instagram, YouTube—semua candu yang mengikis hari-hari hingga tak tersisa ruang untuk bernapas. Pelajaran-pelajaran teknikal yang kupelajari terasa seperti beban, bukan karena aku tak mencoba, tapi karena aku terlalu sering berpura-pura. Aku katakan pada dunia bahwa aku sanggup, padahal dalam hati, aku hanya ingin terbebas dari cibiran dan pandangan curiga.

Tahun pertama kuliah, aku hanya ingin diakui. Ingin orang percaya bahwa aku pantas berada di dunia ini—di ruang kelas, di jurusan yang katanya penuh gengsi. Namun sekeras apapun aku mencoba menyukai, memahami, mengerjakan… tak pernah sekali pun aku benar-benar merasa bangga pada diriku sendiri.

Terlalu sering aku menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain, hingga kehilangan arah pada apa yang benar-benar membuatku hidup.

Kini, aku mulai berhenti membandingkan. Mulai bisa tersenyum untuk kemenangan-kemenangan kecil yang tak bisa dilihat siapa pun kecuali aku. Nilai bukan lagi satu-satunya cermin harga diriku. Terkadang, keberuntungan datang tanpa alasan, mengunjungi hidupku yang sering kali terasa hambar. Tapi tetap saja, aku—seorang perempuan yang belum benar-benar memahami makna pencapaian—masih bergulat dengan rasa kurang yang tak kunjung padam.

Hidupku, bila harus diibaratkan, mungkin seperti angin—tak berpijak, hanya mengikuti arah cuaca. Aku tak pernah benar-benar bermimpi menjadi seseorang yang hebat. Kadang aku bertanya: untuk apa aku hidup di dunia ini? Dan aku yakin, pertanyaan itu tak hanya milikku—ia milik banyak jiwa yang diam-diam bergulat dengan sunyi.

Memberontak bukanlah dosa. Marah bukanlah kelemahan. Mengapa kita diajarkan untuk diam, untuk menahan, untuk selalu tersenyum meski perih menggerogoti dalam? Bukankah kita semua berhak meluapkan isi hati?

Kini, aku tidak lagi menjadikan standar tinggi sebagai tolok ukur utama. Terlalu sering mengejar "yang terbaik" hanya membuat kita terjebak dalam penyesalan yang tak berkesudahan. Kita lupa bersyukur, lupa menikmati, lupa bahwa hidup bukanlah lomba—melainkan perjalanan.

Perfeksionisme adalah pedang bermata dua. Jika hanya itu yang kau andalkan untuk bertahan, kau akan rapuh. Sekali terpatahkan, kau bisa runtuh dan dilupakan.

Aku tumbuh di Indonesia, dan aku bangga menulis dalam bahasaku sendiri. Bahasa yang membuatku merasa pulang. Tulisan adalah ruang sunyi tempat aku berdialog dengan diriku sendiri. Tak ada yang benar-benar memahami isi kepala dan isi hati ini, selain layar kosong yang kini perlahan terisi. Di sinilah aku bisa menjadi apa adanya—tidak dihakimi, tidak dinilai, tidak dibandingkan.

Dan ya, mungkin masih banyak kalimat yang terdengar tak masuk akal. Tapi bukankah begitulah hidup? Tak selalu harus logis, asal jujur.