Surat untuk Diriku di Masa Depan
Ketahuilah, jalan hidup tak akan semulus harapanmu. Sejak usia enam tahun, kau telah tahu bahwa dirimu adalah jiwa yang rapuh—emosi kerap meledak, marah dan sedih datang silih berganti, dan rumah menjadi saksi dari gejolak batinmu. Semua rasa yang kau anggap sebagai kelemahan justru menjadi obat—pahit, tetapi menyadarkan bahwa kau hidup.
Bukan perkara mudah menapaki hari demi hari dengan beban pikiran bahwa dirimu tak cukup mampu bersosialisasi. Di luar sana, yang tampak hanyalah topeng—panggung sandiwara yang harus kau mainkan. Tak ada yang tahu, betapa getirnya dirimu memperlakukan keluarga.
Kau tumbuh sebagai anak yang peka. Di depan teman dan orang dewasa, kau belajar menjaga sikap—bertransformasi dari seseorang yang takut dilabeli menjadi pribadi yang tampak tak peduli, meski sebetulnya hancur perlahan di dalam. Di sekolah, mereka mengenalmu sebagai gadis pemarah, cepat tersulut emosi, dan keras kepala. Semua harus berjalan sesuai dengan kehendakmu. Bila tidak, akan kau rombak semuanya tanpa ragu. Tapi perlahan, kau mulai sadar bahwa keinginan untuk mengontrol segalanya telah menjadi racun. Kau mulai belajar menerima. Belajar menjadi bijak. Belajar menempatkan diri di posisi orang lain. Belajar diam dan mendengarkan, sebelum angkat bicara.
Setiap fase hidupmu punya luka sendiri. SD adalah masa pencarian jati diri, masa ketika kejujuran diuji oleh ambisi. Kau pernah berbohong demi angka, mencontek demi pujian. Tapi hasilnya? Tak pernah benar-benar tenang. Kau pun belajar: betapa mudahnya manusia menolak memaafkan kesalahan kecil. Betapa seringnya kita mengucilkan yang berbeda hanya karena mereka tak sesuai norma.
Dan cinta pertama? Ah, cinta itu pun membuatmu geli ketika mengingatnya. Bagaimana mungkin dulu kau bisa menyukai seseorang yang begitu... biasa?
Hari-hari sekolah dasarmu dipenuhi tekanan untuk sempurna. Tak ada waktu untuk bermain, hanya belajar, les, dan amarah. Prestasi akademik menjadi satu-satunya yang bisa dibanggakan, meski dicapai dengan jiwa yang lelah. Enam tahun bersaing dengan si Dia—itulah hidupmu. Harapan orang tua menjadi satu-satunya bahan bakar untuk terus berlari, meski kau tak tahu untuk apa garis finish itu dikejar.
SMP membawamu pada kekuasaan. Kau menjadi ketua kelas, bendahara, kepercayaan guru. Kau dipuji, diandalkan, dan diakui. Namun satu kesalahan kecil saat ujian bisa menghantuimu selama berhari-hari. Sulit bagimu menerima kegagalan. Kau terlalu bangga untuk mendengar nasihat, merasa selalu benar. Kau baru menyadari: mengatur orang yang lemah itu mudah, tetapi ketika kau berhadapan dengan mereka yang berbakat—yang memiliki pesona dan talenta di luar akademik—kau menjadi kecil. Kau iri. Kau mulai membandingkan, meragukan, dan merasa tertinggal.
Namun dari mereka, kau belajar bahwa hidup bukan perlombaan satu jalur. Bahwa setiap orang punya panggungnya sendiri. Bahwa tak perlu merendahkan yang tak sehebat kita di satu sisi, karena tak ada yang bisa menjadi juara dalam segalanya. Pada akhirnya, semua yang kita lakukan adalah untuk diri sendiri. Kita tak ditakdirkan untuk menyenangkan semua orang. Yang penting, kita bertanggung jawab atas setiap pilihan yang kita ambil.
Untuk para guru yang telah membuka mata dan hatiku—Pak Bram, Pak Yudha, Bu Widi, dan Bu Atik—terima kasih. Karena kalian, aku mengenal sisi terbaik diriku. Kalian melihat lebih dari sekadar nilai—kalian melihat jiwa yang mampu memimpin dan bertanggung jawab. Terima kasih telah percaya, meski aku belum tahu cara percaya pada diri sendiri.
SMA adalah masa tergelap. Masa ketika aku merasa tak punya nilai. Mentalku goyah. Keyakinanku runtuh. Aku dicampakkan ke lingkungan baru, dengan bahasa yang asing, pelajaran yang padat, dan tubuh yang akhirnya tumbang karena demam berdarah. Aku bertahan—entah bagaimana.
Bahasa Inggris tak pernah menjadi kekuatanku. Tapi aku belajar berdamai. Aku menulis, meski tak indah. Aku berbicara, meski terbata. Dan dari sana aku belajar bahwa keberanian bukan soal sempurna, tapi tentang terus mencoba meski tahu bisa gagal.
Dan kau tahu sisa ceritanya. Tak perlu kuulang lagi. Tapi satu hal yang pasti: aku kini lebih lembut pada diriku sendiri. Aku belajar menikmati ilmu tanpa cemas akan melupakannya. Aku tahu bahwa aku sudah belajar, sudah memahami konsepnya. Yang perlu kulakukan hanyalah mengekspresikannya dengan caraku sendiri.
Universitas membawaku pada kemerdekaan. Aku membiarkan diriku bebas, tapi tetap menjaga arah. Aku belajar memilih dengan sadar, bukan karena tekanan, bukan karena takut tertinggal. Tapi karena aku tahu—hidup ini bukan soal siapa yang menang lebih dulu, melainkan siapa yang tetap bertahan tanpa kehilangan dirinya sendiri.
Kini, ketika aku menoleh ke belakang, aku sadar: perjalanan ini bukan tentang menjadi sempurna, melainkan tentang menjadi utuh. Aku tak lagi berlari mengejar pengakuan, tak lagi terjebak dalam ambisi tanpa arah. Aku belajar mencintai versi diriku yang dulu—yang pernah marah, pernah menangis, pernah terjatuh begitu dalam.
Aku memaafkan masa laluku, bukan karena ia indah, tapi karena ia membentukku. Aku berdamai dengan segala luka, karena dari sanalah tumbuh keberanian. Kini aku tahu, menjadi dewasa bukan berarti tak lagi menangis, tapi tahu kapan harus berhenti menyalahkan diri sendiri.
Untuk diriku di masa depan—tetaplah hidup dengan hati yang lembut, pikiran yang jernih, dan langkah yang jujur. Jangan lupa, kekuatanmu bukan terletak pada seberapa hebat kau di mata dunia, tetapi seberapa tulus kau menghadapi dirimu sendiri. Teruslah bertumbuh, meski perlahan. Dunia mungkin tak akan selalu ramah, tapi selama kau setia pada dirimu sendiri, kau tak akan pernah benar-benar tersesat.